Sejarah Desa Klurahan, Tempat Pelarian Keluarga Arya Panangsang Raja Demak yang Memindahkan Ibu Kota ke Jipang
Ngenjuknews.com –
Sejarah Desa Klurahan di Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur,
sangat erat kaitannya dengan keluarga Arya Panangsang.
Arya Panangsang merupakan raja kelima Kesultanan Demak
yang berkuasa dari tahun 1549 sampai dengan 1554 masehi.
Pada era Arya Panangsang ini lah pusat pemerintahan Kesultanan
Demak dipindah ke Jipang. Keraton Jipang diperkirakan ada di Kecamatan Cepu,
Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Dilansir dari laman ngronggot.nganjukkab.go.id,
dikisahkan pada masa-masa akhir pemerintahan Arya Panangsang terjadi peperangan
dahsyat.
Peperangan itu terjadi antara pasukan Arya Panangsang
melawan pasukan Jaka Tingkir.
Sekadar diketahui, laman ngronggot.nganjukkab.go.id
merupakan situs resmi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nganjuk.
Adapun dalam peperangan yang terjadi di Bengawan Sore
itu, Arya Panangsang terbunuh oleh Sutawijaya (Panembahan Senopati) dengan
pusaka sakti berupa Tombak Kyai Pleret.
Sutawijaya merupakan salah satu pihak yang membantu Jaka
Tingkir dalam peperangan tersebut.
Usai Arya Panangsang terbunuh, Jaka Tingkir naik tahta
menjadi raja dan memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang.
Kerajaan baru ini lebih dikenal dengan nama Kesultanan
Pajang, dengan Jaka Tingkir sebagai raja pertamanya yang bergelar Sultan
Hadiwijaya.
Nah, demi keamanan, keluarga
Arya Panangsang oleh para pengikutnya lantas diungsikan menuju arah
timur-selatan.
Salah satu bendoro dari keluarga Arya Panangsang yang
diungsikan itu ialah Roro Dewi Amiswati, yang kelak diyakini sebagai tokoh
sentral di Desa Klurahan.
“Sepeninggal Arya Panangsang, keluarganya diungsikan
oleh para soreng (bregodo atau prajurit pengawal keluarga raja) Kadipaten
Jipang Panolan menuju arah timur-selatan, sampai tiba di suatu tempat yang
masih berhutan,” tulis laman ngronggot.nganjukkab.go.id.
“Salah satu bendoro yang diungsikan tersebut adalah
Roro Dewi Amiswati yang akhirnya jadi tokoh sentral di Desa Klurahan,” lanjut
laman tersebut.
Oleh para soreng Kadipaten Jipang Panolan, wilayah Desa
Klurahan yang dulunya masih berupa hutan lebat dijadikan area pemukiman.
Di saat pembukaan hutan itulah kaki Dewi Amiswati
tertusuk tunggak kayu tom, hingga rahe
nganti mlurah-mlurah (berdarah-darah).
Luka Dewi Amiswati lantas diobati oleh Ki Ageng
Klurak, salah satu sesepuh penderek dari Kadipaten Jipang Panolan.
“Nah dari kata-kata rahe Dewi Amiswati nganti mlurah-mlurah ditambani Ki Ageng Klurak
inilah akhirnya di uri-uri oleh para penderek dan dijadikan nama tempat bernama
‘Klurahan’.
Para pengikut Arya Panangsang ini tidak hanya menetap
di Klurahan, melainkan sebagian di antaranya juga berpencar mencari tempat
baru.
Soreng Kampuh misalnya menuju wilayah Lambangkuning, kini
menjadi salah satu nama desa di Kecamatan Kertosono. Makam Soreng Kampuh di
Desa Lambangkuning kini dijadikan punden oleh warga setempat.
Berikutnya Soreng Kewuh menuju wilayah Ketawang yang
berada di timur Sungai Brantas. Ketawang kini menjadi salah desa yang ada di Kecamatan
Purwoasri, Kabupaten Kediri. Makam Soreng Kewuh ini lantas juga dijadikan punden
oleh warga setempat.
Lalu Soreng Pati yang memilih bermukim di wilayah
Kalianyar, kini menjadi salah satu desa yang ada di Kecamatan Ngronggot. Makam Soreng
Pati juga menjadi punden di desa tersebut.
Selanjutnya Soreng Wilis yang menuju suatu tempat yang
kini masuk wilayah Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri; serta masih banyak soreng-soreng
lainnya yang berpencar-pencar.
Singkat cerita, sampai akhir hayatnya Roro Dewi
Amiswati bermukim di Klurahan. Makam Roro Dewi Amiswati dan para penderek kini
dijadikan punden, bernama Punden Gedhong.
Adapun berdasarkan cerita turun-temurun, dijelaskan
bahwa wilayah Klurahan dulunya sangat luas. Meluputi wilayah Dusun Payaman yang
kini masuk wilayah Desa Trayang, Kecamatan Ngronggot.
Berikutnya Desa Kaloran, yang diyakini sebagai akronim dari Klurahan Lor. Lalu wilayah yang dulunya masih bagian dari Klurahan ialah Desa Betet dan Desa Kalianyar.